Minggu, 29 November 2009

Nikah Berarti Ikatan

Nikah pada hakikatnya adalah persetubuhan (jima’), dan secara kiasan (majaz) adalah perikatan (‘akad)

Pada dasarnya nikah memiliki 3 makna. Pertama, nikah dilihat dari sisi etimologi yang berarti ‘kumpul’ atau ‘persetubuhan (jima’)’. Adapun dikaitkan dengan akad, karena nikah menjadi sebab dibolehkannya jima’. Kedua, nikah dilihat dari pandangan ulama-ulama ushul fiqh. Mereka berbeda pandangan dalam menjelaskan nikah.

1. Nikah pada hakikatnya adalah persetubuhan (jima’), dan secara kiasan (majaz) adalah perikatan (‘akad). Sehingga jika ditemukan kata ‘nikah’ dalam Al-Quran atau hadits tanpa ada penjelasan tertentu (qorinah), maka itu menunjukan makna persetubuhan (jima’), seperti firman Allah SWT dalam surat an Nisa’:

”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh.”

Dalam ayat di atas kata ‘nikah’ bermakna ‘persetubuhan’ karena yang dilarang hanya bisa tergambar dengan arti ini. Selain itu jika diartikan ‘akad’, maka tidak akan menyebabkan kecemburuan sehingga memutuskan rasa kasih sayang dan penghormatan.

2. Secara hakikat nikah berarti ‘akad, dan ‘persetubuhan’ secara kiasan. Makna inilah yang sering muncul dalam Al-Quran dan hadits. Sehingga firman Allah dalam surat al Baqarah: 23 yang diartikan akad.

“Kemudian jika suami mentalak (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami lain. Kemudian jika suami lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. ”

3. Disekutui antara makna ‘akad dan persetubuhan. Pemaknaan inilah yang sering digunakan syara’ tanpa ada batasan makna hakiki atau kiasan.

Ketiga, makna nikah dari kalangan ulama fiqh. Sebenarnya ulama-ulama fiqh berbeda pandangan dalam pemaknaan nikah. Namun, intinya kembali pada satu makna. Akad nikah disyariatkan agar suami bisa memanfaatkan istri dari segi kenikmatannya. Suami hanya berhak mengambil manfaat atas istri tapi tidak berhak atas kemanfaatan istri. Karena hak atas kemanfaatan istri akan menyebabkan tetapnya semua manfaat yang diakibatkan oleh ‘kemaluan’ istri.

Contoh kasus; Jika fulan menyetubuhi perempuan yang telah bersuami karena syubhat –seperti meyakini ia adalah istrinya, padahal bukan, maka perempuan itu berhak mendapatkan mahar mitsly (standar) dari fulan. Tapi jika suaminya berhak atas kemanfaatan istri niscaya mahar mitsly akan menjadi haknya. [kiriman, Zimi Jamaludin, Yogyakarta]

Sumber :
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9314&Itemid=
29 September 2009

Sumber Gambar:
http://ash-shaf.com/wp-content/uploads/2009/08/panduan-pernikahan-islami1.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar